Kiprah warna hitam dalam mayapada kecantikan cukup menonjol dewasa ini, terbukti tren memakai lipstik warna hitam, kuteks (nail polish) yg berwarna hitam menyala, serta juga merajah kulit beserta tato yg berwarna hitam. Hanya tinggal gigi yg belum dihitamkan dalam mayapada fashion. Kita mungkin telah lupa atau tak pernah tahu, bahwa beberapa abad berselang, gigi yg dihitamkan adalah lambang kecantikan serta keningratan. Dan gigi hitam mengilap bukan saja menjadi status sosial, namun terbukti zat penghitam ini mampu melindungi gigi berdasarkan kekeroposan (karies) serta juga menjaga kesehatan tubuh secara awam.
Di masa lampau, khususnya di loka Asia, Melanesia serta Mikronesia, menghitamkan gigi adalah tradisi yg harus dijalani dalam saat memasuki usia akil baliq. Di Jepang, menghitamkan gigi ini dinamakan beserta ohaguro. Caranya beserta melarutkan serbuk besi (iron filing) dalam cuka atau sake, lalu dioleskan dalam permukaan gigi. Supaya warna hitam ini bertahan lebih usang serta memberi kesan mengilap, maka dioleskan kulit butir delima (rind of pomegranate).Tradisi ini dijalankan berabad-abad lamanya, dalam gadis yg akan memasuki jenjang pernikahan, juga dilaksanakan dalam geisha. Baru dalam tahun 1873, gigi hitam ini dihentikan sang kaisar Jepang serta permaisuri kaisar memberi model beserta nir menghitamkan giginya serta justru memamerkan gigi yg putih bersinar mirip mutiara (pearly white).
Di negara China, tradisi menghitamkan gigi juga dijalankan dalam wanita. Secara budaya, gigi hitam dalam wanita selain melambangkan kecantikan, juga bermanfaat buat menyembunyikan ekspresi verbal sang wanita, mirip halnya penggunaan kipas atau tangan yg ditutupkan di depan bibir. Kalau kita amati, hingga sekarang pun, wanita Asia yg akan tertawa sempurna secara refleks menutupi verbal beserta tangannya. Gigi yg putih, di zaman itu, memberi kesan menyeramkan, lantaran menyerupai warna tulang, serta mengingatkan orang dalam taring anjing serta fauna buas lainnya, serta hantu dedemit (demon).
Tradisi gigi hitam ini, secara meluas juga dianut di seantero Mikronesia, Melanesia, serta Asia, mirip di Vietnam, Laos, Thailand, India, Malaya, serta juga Indonesia. Di Vietnam, dalam masa itu bahkan terdapat tembang warga (folksong) yg menggambarkan kecantikan seorang dara beserta rambut yg ikal, suara yg merdu, berlesung pipi, serta mempunyai gigi hitam mengilap laksana biji butir srikaya (custard apple). Di negeri kita, selain dihitamkan, gigi ini juga dikikir (tooth filing) menjadi pendek dalam saat memasuki usia akil baliq mirip yg masih dijalankan di Bali, Sumatera, serta Sulawesi. Ada juga yg mewarnai gigi ini beserta mengunyah sirih, sehingga seluruh gigi-geliginya merona merah. Memang terdapat penelitian ilmiah yg mengambarkan bahwa gigi hitam atau merah ini tahan (resisten) terhadap karies gigi serta juga menguatkan gusi. Ini tentunya beserta mengenyampingkan pendapat ilmiah bahwa zat-zat penghitam/pemerah gigi ini bersifat karsinogenik (mampu memicu terjadinya kanker).
Penduduk Filipina serta Vietnam telah mengambarkan bahwa menghitamkan gigi adalah senjata ampuh melawan ulat gigi yg akan menggerogoti permukaan gigi. Ada satu jenis flora perdu yg bernama Pothos Vine yg syahdan mampu menghitamkan gigi bilamana dikunyah. Kalau Pothos Vine ini nir terdapat di loka Knda, maka mampu diganti beserta mengunyah kulit butir delima mirip yg biasa dilakukan sang generasi tua di Jawa. Saya teringat waktu mini dahulu, makan hidangan cumi lengkap beserta tinta hitamnya (yg di Surabaya dinamakan beserta ikan nus). Sekujur gigi saya menjadi hitam, namun tentunya yg satu ini tak berkhasiat buat mencegah keropos gigi.
Apakah tren fashion akan merangkul ide gigi hitam berkilat menjadi lambang kecantikan akan hayati pergi di masa depan? Who knows! Pada saat mana, dokter gigi akan merangkap menjadi ahli kecantikan, bukan beserta cara memutihkan gigi (bleaching), namun justru beserta menghitamkan gigi.